Teknologi Film Bukan Cuma Soal Efek—Tapi Soal Cerita yang Lebih Jujur
Banyak yang mengira teknologi film hanya soal CGI, kamera 8K, atau drone yang menangkap adegan epik dari langit. Padahal, di balik layar, perkembangan teknologi justru membuka jalan bagi narasi yang lebih manusiawi—cerita dari daerah terpencil, suara minoritas, atau bahkan dokumentasi sejarah lisan yang nyaris punah.
Dulu, membuat film berkualitas butuh anggaran besar dan akses ke studio. Kini, dengan kamera ponsel pintar, mikrofon nirkabel mini, dan perangkat lunak penyuntingan yang terjangkau, siapa pun bisa bercerita dengan standar sinematik. Yang berubah bukan hanya alat—tapi siapa yang diizinkan bercerita.
Sebagai praktisi teknologi film, saya melihat ini sebagai demokratisasi visual: bukan lagi soal siapa punya dana terbesar, tapi siapa punya perspektif paling autentik. Film pendek dari desa di NTT kini bisa tayang di festival internasional. Video dokumenter tentang nelayan tradisional bisa viral bukan karena dramatisasi, tapi karena kejujurannya.
Teknologi film terbaik bukan yang paling canggih—tapi yang paling menghilangkan jarak antara penonton dan kenyataan. Karena pada akhirnya, semua alat itu hanyalah jembatan. Yang benar-benar bergerak di seberangnya? Manusia.