Bahasa Indonesia di Dunia Digital: Antara Gengsi dan Identitas

Masih ada anggapan di kalangan konten kreator—terutama di ranah teknologi dan edukasi—bahwa menggunakan Bahasa Indonesia akan mengurangi “kredibilitas” atau “prestise” karyanya. Seolah-olah, kualitas hanya bisa diukur dari penggunaan bahasa asing, terutama Inggris. Padahal, Bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa paling lentur dan kaya di dunia: mampu menampung istilah teknis, nuansa filosofis, hingga ekspresi puitis tanpa kehilangan kejelasan.

Fakta menarik: permintaan global terhadap konten dalam Bahasa Indonesia justru meningkat. Platform edukasi global seperti Khan Academy, Duolingo, dan bahkan Coursera kini memperluas kurikulum dalam Bahasa Indonesia—bukan hanya untuk pasar lokal, tapi juga komunitas diaspora dan pelajar asing yang tertarik pada budaya Nusantara. Ini membuktikan bahwa bahasa bukan penghalang, melainkan pintu masuk ke keunikan lokal yang justru dicari di pasar global.

Menggunakan Bahasa Indonesia dalam konten digital berkualitas bukan tanda keterbelakangan—justru bentuk kepercayaan diri. Ketika kita mampu menjelaskan konsep AI, perubahan iklim, atau teori sastra dalam bahasa ibu sendiri, kita tidak hanya mendidik—kita juga memperkuat identitas kolektif. Dunia tidak lagi menilai berdasarkan bahasa yang dipakai, tapi pada kedalaman gagasan dan keaslian suara.

Jadi, mari hentikan mentalitas inferior. Bahasa kita bukan penghambat—ia adalah jembatan. Dan di ujung jembatan itu, dunia menunggu untuk belajar dari cara kita memandangnya.